Berita Parlemen
Berita UtamaFituredOpini

Tambang Nikel dan Luka Sunyi Raja Ampat

Tambang Nikel dan Luka Sunyi Raja Ampat

Tambang Nikel dan Luka Sunyi Raja Ampat
Oleh: LaSasqi

Raja Ampat telah lama dikenal sebagai permata bahari Indonesia. Gugusan pulaunya yang memesona, lautnya yang jernih, serta kehidupan lautnya yang luar biasa kaya menjadikannya salah satu destinasi konservasi paling berharga di dunia. Namun keindahan ini kini menghadapi ancaman yang tak datang dalam bentuk badai, melainkan lewat ekskavator dan konsesi tambang.

Di Pulau Gag, salah satu bagian dari Raja Ampat, aktivitas tambang nikel mulai berlangsung sejak 2018. Lebih dari 500 hektar hutan tropis telah terbuka untuk keperluan eksploitasi. Air laut mulai menunjukkan tanda-tanda pencemaran. Sementara itu, masyarakat adat yang selama ini menjaga pulau itu mulai kehilangan akses terhadap tanah dan laut yang selama ini mereka rawat secara turun-temurun.

Yang membuat situasi ini lebih kompleks adalah narasi yang membungkusnya. Tambang nikel disebut sebagai bagian dari solusi global terhadap krisis iklim. Nikel, sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik, dianggap strategis untuk masa depan “energi hijau”. Tapi di sinilah paradoksnya, demi membangun masa depan bersih, kita justru merusak wilayah yang selama ini sudah bersih.

Jika krisis iklim adalah masalah global, maka jawabannya tentu tidak bisa dibayar dengan merusak hutan hujan dan meminggirkan masyarakat adat. Pembangunan yang benar bukan hanya soal apa yang dibangun, tetapi juga tentang siapa yang berhak menentukan arah dan dampaknya. Dan sejauh ini, suara masyarakat lokal terlalu sering tidak didengar.

Pemerintah memang sempat menghentikan sementara kegiatan tambang di Pulau Gag untuk evaluasi. Tapi keputusan ini belum cukup. Apalagi ketika tekanan pasar terhadap logam strategis seperti nikel semakin kuat, dan ketika investasi lebih sering diukur dari nilai ekonomi jangka pendek ketimbang keberlanjutan jangka panjang.

Raja Ampat bukan sekadar objek wisata. Ia adalah ruang hidup. Tempat manusia dan alam hidup berdampingan dalam keseimbangan yang nyaris langka di zaman ini. Jika kawasan seperti Raja Ampat saja bisa dikorbankan atas nama pertumbuhan, lalu kawasan mana lagi yang aman?

Tulisan ini bukan ajakan untuk menolak semua bentuk pembangunan. Melainkan ajakan untuk berpikir ulang, apakah pembangunan harus selalu berarti eksploitasi? Dan apakah kemajuan bisa disebut adil jika ada pihak yang kehilangan hak dasar atas tanah, laut, dan identitas mereka sendiri?

Kita tak bisa menjaga masa depan dengan merusak masa kini. Dan kita tak bisa bicara soal keberlanjutan tanpa mendengar suara dari tempat-tempat yang selama ini menjaga bumi ini dalam diam.

Raja Ampat adalah pengingat. Bahwa yang tampak jauh, sebenarnya dekat. Bahwa alam yang sunyi pun bisa berteriak, kalau kita mau mendengar.

Related posts

Betonisasi Jalan Lingkungan Dan Rehabilitas di Desa Tajur, Kec. Citereup

Redaksi

Ketua DPRD Kabupaten Bogor  Desak Perumda Pasar Tohaga Transparan Terkait Retribusi PKL Citeureup

Redaksi

Publikasi Kinerja BAPPENDA Kabupaten Bogor Tahun 2025

Redaksi

Kemendag dan Komisi VI DPR Sidak ke Pasar Cibinong, Ini Hasilnya

Redaksi

PB HMI Berkunjung ke Istana Merdeka, Berharap Pemilu 2024 Berjalan Lancar dan Sukses

Redaksi

Presiden Prabowo Hadiri Peringatan Hari Buruh Internasional, Sejarah Yang Absen Selama 60 Tahun

Redaksi

Leave a Comment