Berita Parlemen
Berita UtamaFituredParlememtaria

Revisi Tata Tertib DPR Pasal 228 A Menuai Kontroversi dan Kritik Tajam

Revisi Tata Tertib DPR Pasal 228A Menuai Kontroversi dan Kritik Tajam

Beritaparlemen.com|Jakarta,– Revisi Tata Tertib DPR yang memasukkan Pasal 228A menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Aturan baru ini memberikan DPR kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah mereka pilih, dengan hasil evaluasi yang bersifat mengikat. Sejumlah pakar hukum menilai langkah ini berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan merusak sistem ketatanegaraan.

 Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, I Dewa Gede Palguna, menilai revisi ini menunjukkan ketidaktahuan DPR terhadap hierarki hukum. Menurutnya, peraturan tata tertib bersifat internal dan tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk mengikat eksekutif dan yudikatif.

 “Tatib itu peraturan internal DPR, bukan sumber hukum yang bisa mengikat lembaga lain. Bahkan mahasiswa hukum semester tiga pun tahu ini menyalahi prinsip dasar ketatanegaraan,” kata Palguna, Rabu (5/2/2025).

 Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai langkah DPR sebagai pelanggaran serius terhadap independensi lembaga negara. Jika DPR bisa mengevaluasi hakim atau pejabat yang seharusnya independen, maka kondisi peradilan bisa terancam tidak lagi merdeka.

 “Pasal 24 UUD 1945 sudah menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka. Jika ada intervensi dari DPR dalam mengevaluasi pejabat publik, ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.

 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa revisi ini semakin memperparah politisasi lembaga independen. DPR, menurutnya, sudah terlalu jauh mencampuri pengangkatan dan evaluasi pejabat, yang bisa mengarah pada penguasaan sistem pemerintahan.

 “DPR saat ini sudah terlibat dalam seleksi 1.787 pejabat. Ini menyita waktu dan sumber daya. Mereka seharusnya fokus pada legislasi, bukan malah mengontrol eksekutif dan yudikatif,” kata Jimly.

 Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, membantah bahwa Pasal 228A dibuat untuk kepentingan politik. Menurutnya, aturan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

 “Kita mulai dari Tatib dulu, tapi bisa saja nanti ini menjadi undang-undang agar lebih kuat dan mengikat,” ujarnya.

 Jika aturan ini masuk dalam revisi UU MD3, maka DPR akan memiliki kewenangan resmi dalam mengevaluasi dan memberhentikan pejabat eksekutif dan yudikatif. Beberapa pengamat menilai langkah ini dapat menciptakan ketidakstabilan politik karena pejabat publik bisa sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan evaluasi DPR.

 Sejumlah dampak yang mungkin terjadi termasuk ketidakstabilan pemerintahan, pelemahan lembaga independen seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta hilangnya fokus DPR dari tugas utamanya dalam legislasi dan pengawasan anggaran. 

Pakar hukum mendesak agar presiden dan masyarakat sipil bersikap tegas terhadap upaya DPR dalam memperluas kewenangannya. Jika tidak, sistem demokrasi Indonesia bisa semakin tergerus oleh kepentingan politik segelintir elite.(Saskia)

 

Related posts

DPRD Kota Depok Usulkan Raperda Pendidikan Pancasila, Wawasan Kebangsaan dan Kewargaan

Redaksi

Alam Papua Kaya, Tapi Kenapa Rakyatnya Miskin?

Redaksi

Demi Perbaikan Untuk Bogor, BDC Hadir Mengulas Oligarki

Redaksi

Komitmen Brantas Korupsi , PT Pelindo Raih Penghargaan Dari Stranas PK

Redaksi

Peringati HUT RI Ke-77 RI, Plt Bupati Bogor Sampaikan Hal Penting Ini

Redaksi

Jubir KPK: Pernyataan Kuasa Hukum Ade Yasin Tidak Benar

Redaksi

Leave a Comment