Problematika Hukum Pemberian Penghormatan pada Kyai
Penulis: Cokky Guntara
Wasekjend Pimpinan Pusat GP Ansor/ Sekretaris Majelis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor Pimpinan Pusat
Islam merupakan agama yang luhur. Nilai-nilai keteladanan, etika dan akhlak menjadi bagian yang melekat dalam agama Islam. Bahkan di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Belakangan, implementasi praktik etika dan akhlak dalam bentuk mencium tangan seorang guru, bersedekah dalam bentuk harta untuk perjuangan dakwah dan memberikan hadiah pada seorang Alim dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam oleh sekelompok golongan tertentu. Mencium tangan, sampai membungkuk pada guru, merupakan tindakan yang belebihan bahkan diharamkan. Kelompok golongan tersebut menilai perilaku demikian haram karena seolah menuhankan manusia.
Menyumbangkan sebagian harta dan memberi hadiah kepada para alim wal ulama, juga dinilai suatu yang berlebihan. Karenanya, framing yang terjadi seolah guru, kyai dan ulama hidup dengan bergelimang harta karena mendapat dari sumbangan orang lain, sedang orang yang menyumbang atau bersedekah hidupnya tidak lebih baik (secara ekonomi) dibanding dengan kehidupan kyai itu sendiri.
Lalu, bagaimana sebetulnya Islam melihat fenomena seperti ini? Apakah betul menghormati guru dengan mencium tangannya itu berlebihan? Apakah boleh “ngamplopi” kyai atau orang-orang alim? Atau apakah dibenarkan tradisi tersebut yang lumrah dilakukan oleh masyarakat pesantren?
Kisah Sang Dermawan, Abdurahman Bin Auf
Ingatkah kita akan sosok bernama Abdurahman bin Auf? salah satu sahabat Nabi yang mendapatkan kedudukan yang mulia. Ia merupakan salah seorang sahabat yang kaya raya. Abdurahmah bin Auf tidak hanya dikenal lantaran hartanya yang melimpah. Tetapi ia juga dikenal karena kedermawanannya dalam mendukung dakwah Islam.
Meskipun dikenal sebagai seorang pedagang kaya, beliau tidak pernah menyimpan kekayaan untuk kepentingan pribadi. Abdurrahman bin Auf sering kali menyumbangkan hartanya untuk perjuangan Islam, termasuk dalam perang-perang besar yang terjadi di masa Rasulullah, seperti Perang Uhud dan Perang Tabuk.
Saking dermawan dan bijaksananya beliau, Nabi Muhammad SAW berkata pada para sahabatnya mengenai Abdurrahman bin Auf, “Sesungguhnya yang akan menjaga kamu sekalian sepeninggalanku adalah Ash-Shadiq al-Bar (Abdurrahman bin Auf). Ya Allah, hidangkanlah minuman mata air surga kepada Abdurrahman bin Auf.”
Tidak sedikit harta yang ia berikan untuk kepentingan Dakwah Rasulullah. Ia memilih hidup sederhana, tetapi menyumbangkan sebagian hartanya dijalan Allah demi mendapatkan keridhoan-Nya. Karena ia meyakini, kesuksesan bisnisnya tak luput dari jalan yang ditunjukan oleh Allah SWT. Karenanya ia sumbangkan hartanya untuk digunakan dalam misi dakwah Islam bersama Rasulullah.
Kisah Sahabat Nabi Abdurrahman Bin Auf mengajarkan kita tentang pentingnya keberkahan dalam kehidupan, yang tidak terletak pada banyaknya harta, tetapi pada bagaimana kita membelanjakan harta tersebut di jalan Allah. Pada saat Perang Tabuk, misalnya, beliau memberikan kontribusi besar dengan menyumbangkan 200 uqiyah emas, jumlah yang sangat besar pada waktu itu. Dengan sumbangan ini, Kisah Sahabat Nabi ini menunjukkan bagaimana beliau menggunakan kekayaannya untuk mendukung dakwah dan perjuangan Islam.
Lantas pelajaran apa yang bisa dipetik dari Abdurahman bin Auf? Ia mengajarkan kepada kita bahwa menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, bisa ditempuh dengan cara menyumbangkan sebagian hartanya di jalan Allah.
Inilah salah satu kisah yang memotivasi para pencari ilmu dikalangan pesantren. Materi atau hadiah yang diberikan oleh para santri kepada kyai, atau “ngamplopi kyai” semata-mata hanya bentuk ucapan terimakasih atas dedikasi dan ilmu yang diberikan oleh guru kepada murid. Juga, para santri atau murid itu semata-mata hanya berharap ridha dari kyai yang dinilai istiqomah dan tulus dalam menjalankan dakwah Islam.
Cium Tangan, atau Jabat Tangan?
Alkisah, seorang sahabat pernah mendatangi Radulullah SAW. Sahabat tersebut mempertanyakan tentang perilaku saat ada dua orang saling berpapasan. “Apakah harus membungkuk, merangkul, atau mencium(tangan)nya?” Nabi menjawab, “tidak”. Kemudian sahabat Nabi tersebut kembali bertanya, “apakah cukup dengan memegang dan menjabat tangannya?” Nabi menjawab, “iya”.
Inilah sepenggal kisah atau riwayat yang digunakan oleh sekelompok golongan sebagai rujukan untuk tidak mau mencium tangan guru, kyai, atau orang yang lebih tua. Kisah yang yang berisikan dalil atau hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi. Perilaku yang tergambar dalam hadits tersebut berlaku tatkala seseorang bertemu dengan teman sebayanya, bukan pada orang yang lebih tua atau lebih alim. Maka sungguh tidak elok jika ada seorang murid dengan guru, atau santri dengan kyai saat bertemu hanya berjabat tangan.
Berjabat tangan, mencium tangan, kaki, kepala bahkan membungkukan badan, memang menuai banyak pertanyaan. Apakah semua itu diperbolehkan? Lalu bagaimana hukumnya? Menurut faham Syafi’iyah, boleh.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam kitab Fatawal Fiqhiyyah Al-Kubra, menjelaskan bahwa berjabat tangan dengan orang yang baru datang itu hukumnya sunnah. Lalu seseorang diperbolehkan untuk mencium tangan, kaki, atau kepala apabila itu ditujukan atau dilakukan kepada sesorang yang alim, orang shaleh, atau seseorang yang memiliki kemuliaan nasab.
Lalu bagaimana dengan seseorang yang membungkukan badan dengan merendahkan punggung? Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjawab hukumnya makruh. Sedang berdiri untuk menghormati orang-orang yang disebutkan tadi hukumnya adalah sunnah. Inilah pendapat yang berlalu dalam mazhab Imam Syafi’i.
Pun demikian, pendapat yang hampir sama juga dikemukaan oleh imam Al-Ghazali. Ia menjelaskan bahwa mencium tangan dan membungkuk dalam pelayanan (khidmah) pada dasarnya termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan, bahkan tergolong maksiat, kecuali dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti karena rasa takut, atau ditujukan kepada pemimpin yang adil, seorang alim, atau orang yang memang pantas dihormati karena urusan agama. Penjelasan ini ia terangkan dalam kitabnya yang fenomenal dikalangan masyarakat pesantren, yaitu Ihya Ulumuddin.
Dengan demikian, hukum dasar mencium tangan seorang guru, kyai, termasuk juga orang berilmu lainnya, orang tua, dan orang saleh sebagaimana dijelaskan di atas, adalah boleh bahkan dianjurkan. Dengan catatan, selama dilakukan dalam koridor penghormatan yang bersumber dari nilai-nilai agama dan adab, sebagai bentuk penghormatan kepada pemilik ilmu, kebaikan, dan kemuliaan.
Wallahua’lam.