Indonesia Dapat Diskon Ekspor 19%, Tapi Harus Beli Boeing dan Gandum Dari Amerika
Oleh: La Sasqi
Indonesia resmi menyepakati tarif ekspor resiprokal sebesar 19 persen untuk produk-produk industri nasional ke Amerika Serikat. Kesepakatan ini diumumkan pada Juli 2025 dan disambut sebagai kabar baik bagi dunia usaha, terutama sektor tekstil, pakaian, dan alas kaki (TPT) yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Dengan tarif ini, Indonesia menjadi salah satu negara paling kompetitif di Asia Tenggara dalam menembus pasar ekspor Amerika, mengungguli negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, bahkan Kamboja yang masih dikenai tarif di atas 20 hingga 36 persen.
Sektor TPT, yang menyerap lebih dari tiga juta tenaga kerja di Indonesia, selama ini menghadapi tekanan besar karena ancaman kenaikan tarif ekspor AS hingga 32 persen. Penurunan tarif menjadi 19 persen jelas menjadi angin segar, khususnya bagi kawasan industri padat karya di Jabodetabek dan Jawa Tengah. Di DKI Jakarta sendiri, kawasan seperti Cakung, Marunda, dan Tanjung Priok yang menjadi simpul ekspor logistik nasional ikut terdampak langsung oleh kabijakan ini. Pelaku usaha di Jakarta mulai menunjukkan optimisme baru. Seperti disampaikan Fitriani, pemilik usaha konveksi di Jakarta Barat, yang menyebut bahwa kebijakan ini bisa menyelamatkan banyak usaha kecil dari ancaman tutup dan PHK massal.
Namun, di balik kabar baik ini, ada komitmen besar yang harus dipenuhi Indonesia. Dalam dokumen resmi yang dirilis Gedung Putih, disebutkan bahwa Indonesia menyetujui pembelian 50 unit pesawat Boeing sebagai bagian dari paket kerja sama, selain pembelian gas alam cair (LNG), minyak mentah, serta komoditas pertanian seperti kedelai, gandum, dan kapas dari Amerika Serikat. Secara total, nilai pembelian produk energi dari AS mencapai 15 miliar dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa tarif yang lebih rendah datang dengan konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Sementara itu, produk-produk Amerika akan masuk ke Indonesia dengan tarif hampir nol persen dan hambatan teknis yang minimal.
Banyak pengamat menilai hal ini bisa menjadi ancaman tersendiri bagi pasar domestik jika tidak diantisipasi dengan penguatan regulasi dan perlindungan untuk pelaku usaha lokal. Toni, pelaku UMKM di Jakarta Utara, menyebut bahwa produk-produk asing yang lebih murah berpotensi menyingkirkan produk dalam negeri dari etalase pasar.
Dari sisi geopolitik, kesepakatan ini juga mencerminkan langkah Amerika Serikat dalam memperkuat pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik, terutama dengan negara-negara strategis seperti Indonesia. Di tengah ketegangan dagang global dan rivalitas dengan Tiongkok, Amerika terus mencari pijakan ekonomi baru melalui jalur perdagangan. Dalam konteks ini, Indonesia bukan hanya mitra dagang, tetapi juga bagian dari strategi regional AS.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kesepakatan tarif resiprokal ini merupakan capaian diplomasi yang signifikan. Ia memberi waktu dan ruang bagi Indonesia untuk membenahi rantai ekspornya, memperkuat industri hilir, dan meningkatkan efisiensi logistik. Namun jika komitmen dan konsekuensi dagang ini tidak diiringi oleh langkah penguatan dalam negeri, maka keuntungan yang diperoleh bisa berbalik menjadi tekanan. Pemerintah pusat maupun daerah, termasuk DKI Jakarta, perlu memastikan bahwa pelaku usaha lokal benar-benar mendapatkan manfaat dari kesepakatan ini, bukan justru terpinggirkan oleh masuknya produk asing yang lebih dominan.
Tarif 19 persen ini adalah peluang, tapi juga ujian. Apakah Indonesia bisa mengambil kendali atas arah ekspornya, atau justru menjadi pasar bagi kepentingan dagang negara lain.